Rabu, 10 Januari 2024

Reforma Agraria

Dipublikasikan pada Kolom ANALISIS SKH Kedaulatan Rakyat Rabu, 10 Januari 2024 halaman 1 

Reforma Agraria 
Oleh: Dr. Sutaryono 

Hiruk pikuk menuju Pemilihan Umum 2024 utamanya terkait pemilihan presiden dan calon wakil presiden intensitasnya semakin meningkat. Adu gagasan melalui penjabaran visi dan misinya mewarnai hampir seluruh media informasi, baik media cetak, media elektronik maupun media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian masyarakat terhadap perhelatan demokrasi untuk memilih calon pemimpin bangsa sangat tinggi. Mencermati visi dan misi ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, hingga berakhirnya debat Capres-Cawapres putaran ketiga, seakan ada agenda strategis bangsa yang belum secara eksplisit dan tegas disampaikan oleh ketiga paslon. Agenda strategis tersebut adalah Agenda Reforma Agraria atau sering disebut sebagai Pembaruan Agraria. Mengapa? Karena melalui agenda reforma agaria berbagai permasalahan bangsa dapat diselesaikan, seperti: (1) ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; (2) kemiskinan; (3) keterbatasan lapangan kerja; (4) keterbatasan akses terhadap sumber-sumber agraria, terutama tanah; hingga (5) persoalan sengketa dan konflik. 

Reforma agraria adalah mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada dasarnya agenda reforma agraria ini sudah diimplementasikan oleh pemerintah melalui 3 (tiga) RPJMN, sejak tahun RPJM Tahun 2009 – 2014. Secara eksplisit disebutkan pada RPJMN 2015 – 2019 yang dilanjutkan melalui RPJMN 2020 – 2024 bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta hektar yang terbagi ke dalam skema legalisasi asset (4,5 juta hektar) dan redistribusi tanah (4,5 juta hektar). 

Berdasarkan data dari Ditjend Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN, realisasi reforma agraria melalui skema legalisasi asset (pensertipikatan tanah) hingga akhir tahun 2023 sungguh luar biasa. Dari target seluas 4,5 juta hektar berhasil dilegalisasi sebanyak 31.183.106 bidang dengan luas mencapai 9.312.787,72 hektar (206,99%). Realisasi reforma agraria melalui skema redistribusi tanah masih tertinggal dari skema legalisasi asset. Hingga akhir tahun 2023, skema ini menghasilkan redistribusi tanah sejumlah 2.985.868 bidang dengan luas 1.787.529,41 hektar atau mencapai 39,72%%. Realisasi tersebut berasal dari sertifikasi tanah-tanah eks HGU, tanah terlantar dan tanah negara lainnya, seluas 1.409.437,24 hektar atau 352,36% dari target. Sedangkan yang berasal dari pelepasan Kawasan hutan baru terealisasi seluas 378.092,17 hektar atau 9,22% dari target yang dicanangkan. 

Hal di atas menunjukkan bahwa agenda reforma agraria baik melalui skema legalisasi asset maupun redistribusi tanah masih perlu dijadikan agenda strategis untuk pemerintahan yang akan datang. Oleh karena itu perlu dicermati visi dan misi ketiga paslon presiden dan wakil presiden. Ternyata frasa reforma agraria sama sekali tidak ada pada visi dan misi ketiga paslon presiden dan wakil presiden. Namun demikian, kita masih bisa berharap bahwa agenda reforma agraria tetap menjadi agenda strategis bangsa pada pemerintahan ke depan. Mengapa? Karena pada misi ketiga paslon terdapat frasa kunci yang sangat terkait dengan agenda reforma agraria. Paslon 1 yang mengusung visi Adil Makmur untuk Semua dengan 8 misinya terdapat 2 (dua) frasa kunci terkait reforma agraria, yakni: (1) kemandirian pangan (misi 1); dan (2) mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja (misi 2). Paslon 2 dengan visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045 dengan 8 misinya, terdapat 1 (satu) frasa kunci, yakni membangun dari desa untuk pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan sebagaima tertuang pada misi ke-6. Untuk paslon 3 yang mengusung visi Gerak Cepat Menuju Indonesia Unggul dengan 8 misinya, terdapat 1 (satu) frasa terkait agenda reforma agraria, yakni pada misi ke-4, hilangnya kemiskinan dan ketimpangan antar wilayah. Akhir kata, marilah kita kawal bersama, siapapun paslon yang terpilih tetap menempatkan agenda reforma agraria sebagai agenda strategis bangsa yang harus dilaksanakan.

Reforma Agraria

Senin, 09 Oktober 2023

Transformasi Digital Pertanahan

 Dipublikasikan pada Kolom ANALISIS

SKH KEDAULATAN RAKYAT

Senin 25 September 2023 Hal 1

 

TRANSFORMASI DIGITAL PERTANAHAN

Oleh:

Dr. Sutaryono[1]

 

Dua tahun lalu kita dikejutkan oleh media yang mengabarkan dan memperbincangkan Sertipikat Tanah Elektronik, yang menunjukkan dimulainya transformasi digital pertanahan. Salah satunya dengan judul ‘Era Baru Pertanahan, Sertifikat Tanah 2021 Sudah Berbeda, Seluruh Sertifikat Tanah akan Ditarik’. Terhadap kabar tersebut publik memberikan tanggapan yang beragam hingga kekhawatiran berkenaan dengan akan ditariknya sertipikat tanah lama. Padahal hingga saat ini belum seluruh bidang tanah bersertipikat. Bagaimana mungkin pensertipikatan tanah saja belum selesai, akan ditarik sertipikat yang sudah ada dan diganti dengan sertipikat elektronik (Analisis KR, 08-02-2021).

Saat ini, bertepatan dengan dimulainya Peringatan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (24 September 2023), kita kembali diingatkan tentang pentingnya transformasi digital dalam pelayanan pertanahan, guna mewujudkan institusi pertanahan dan tata ruang yang maju dan modern. Berkenaan dengan hal tersebut, e-government adalah sebuah keharusan. Dalam konteks ini, disamping menggenjot penyelesaian pendaftaran tanah melalui PTSL Kementerian ATR/BPN juga menginisiasi kebijakan transformasi digital dalam pelayanan pertanahan. Salah satunya adalah kebijakan Sertipikat Elektronik melalui Permen ATR/KBPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik, yang saat ini diganti dengan Permen ATR/KBPN Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen Elektronik dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah. Yang dimaksud dengan dokumen elektronik dalam regulasi tersebut adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

 

Tantangan Transformasi Digital

 

Secara general tantangan yang dihadapi dalam transformasi digital dalam pelayanan pertanahan, khususnya dalam penerbitan dokumen elektronik dalam kegiatan pendaftaran tanah meliputi: (a) ketersediaan regulasi yang lengkap dan detail; (b) ketersediaan dokumen dan system elektronik yang handal; (c) kesiapan sumberdaya manusia, baik kapasitas maupun integritasnya; serta (d) jaminan keamanan dokumen dan sistem elektroniknya.

Regulasi yang lengkap dan detail tidak hanya diorientasikan untuk mendapatkan keabsahan dalam menghasilkan dokumen elektronik semata, tetapi juga memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang memproduksinya serta para pemegang hak atas tanahnya.

Adapun ketersediaan dokumen dan sistem elektronik yang handal tentu terkait dengan operasionalisasi dalam memproduksi dokumen elektronik hingga operasionalisasi dalam berbagai pelayanan pertanahan.  Dokumen elektronik yang dibutuhkan pada kegiatan pendaftaran tanah memuat data pemegang hak, data fisik dan data yuridis bidang tanah yang valid dan autentik, baik yang bersumber atau diterbitkan melalui sistem elektronik dan/atau merupakan hasil pemindaian dokumen cetak. Dokumen elektronik hasil sistem elektronik disahkan menggunakan tanda tangan elektronik dan dokumen elektronik hasil pemindaian dijamin keasliannya melalui segel elektronik.

Kesiapan sumberdaya manusia dalam transformasi digital pelayanan pertanahan tidak hanya terkait pada kualitas dan kuantitasnya, tetapi juga pada integritas dan mindset-nya. Kualitas dan kuantiitas merupakan persyaratan teknis SDM untuk mampu menjalankan proses transformasi digital. Integritas dan mindset SDM merupakan persyaratan attitude penyelenggara transformasi digital, mengingat resiko pelanggaran dan penyalahgunaan dokumen elektronik ini sangat tinggi. Tidak mungkin SDM penyelenggara transformasi digital masih memilik mindset pelayanan konvensional dan manual yang selama ini dijalankan.

Tantangan terakhir yang paling sering mendapatkan perhatian publik adalah jaminan keamanan terhadap dokumen elektronik yang sudah dihasilkan dan jaminan sistem elektronik yang dijalankan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik dalam kegiatan pendaftaran tanah. Publik harus diyakinkan bahwa tingkat keamanan dokumen dan sistem elektronik yang dioperasionalkan dalam pelayanan pertanahan sangat tinggi dan tidak mudah disusupi oleh hacker atau pihak-pihak yang tidak berkepentingan.



[1] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Senin, 25 September 2023

Transformasi Digital Pertanahan


 Kolom ANALISIS
SKH KEDAULATAN RAKYAT, 25 September 2023

Urgensi Kajian Lingkungan Hidup Strategis

 Dipublikasikan pada Kolom OPINI

SKH KEDAULATAN RAKYAT

Kamis, 6 Juli 2023 Hal 11

 

Urgensi Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Oleh: Dr. Sutaryono[1]

 

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) saat ini menjadi suatu yang urgent sekaligus emergence. Mengapa? Karena dalam satu dekade terakhir pemerintah telah melakukan berbagai terobosan guna memberikan akselerasi dan kemudahan dalam berusaha dan berivestasi. Apalagi setelah ditetapkannya UU Cipta Kerja, yang digantikan dengan Perppu 2/2022 dan terakhir dikuatkan melalui UU 6/2023 tentang Penetapan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Namun demikian, kemudahan berusaha dan investasi bukan berarti menafikan dampak lingkungan yang ditimbulkan maupun mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Argumen inilah yang menempatkan KLHS sebagai hal urgent sekaligus emergence. Dalam hal ini KLHS dimaknai sebagai rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

Berdasarkan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. Kewajiban tersebut  harus dilaksanakan dalam penyusunan atau evaluasi: (a) rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan (b) kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.

Pengarusutamaan KLHS

Sejak terbitnya UU 32/2009 yang mengamanahkan kewajiban KLHS, hingga saat ini masih ada kecenderungan menempatkan dokumen KLHS hanya sebatas formalitas dan kewajiban normatif saja. Kecenderungan ini berdampak pada rendahnya kualitas KLHS dan terabaikannya rekomendasi perbaikan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Disisi yang lain, pemerintah memfasilitasi kemudahan berusaha dan investasi melalui penyederhanaan perizinan berusaha dalam bentuk Online Single Submission (OSS). OSS ini dilakukan untuk: (a) mempermudah pengurusan berbagai perizinan berusaha; dan (b) memfasilitasi pelaku usaha untuk terhubung dengan semua stakeholder dan memperoleh izin secara aman, cepat dan real time (Opini KR, 21-01-2019).

Dalam konteks perizinan berusaha terkait pemanfaatan ruang, telah diterapkan kebijakan OSS KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang). Disamping berperan sebagai perizinan dalam pemanfaatan ruang, KKPR juga berperan sebagai dasar untuk memperoleh tanah bagi pelaku usaha (Opini KR, 08-11-2022). Nah, salah satu prakondisi yang harus dipenuhi untuk penerapan OSS KKPR untuk pemberian izin berusaha di seluruh wilayah Indonesia adalah ketersediaan Rencana Detai Tata Ruang (RDTR). Jadi dalam hal ini RDTR menjadi single reference dalam perizinan pemanfaatan ruang. Disisi lain legalitas RDTR saat ini tidak lagi dalam bentuk peraturan daerah tetapi peraturan kepala daerah, ruang partisipasi publik dalam penyusunan dan penetapannya cenderung lembih sempit.

Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa kebijakan, rencana dan/atau program yang ada dalam RDTR tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, tidak memberikan dampak lingkungan dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan, maka penyusunan RDTR harus terintegrasi dengan KLHS. Kewajiban pengintegrasian tersebut diatur melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN 5/2022 tentang Tata Cara Pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka pengarusutamaan (mainstreaming) KLHS, baik dalam penyusunan rencana tata ruang, RPJP, RPJM maupun kebijakan, rencana, dan/ atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup perlu diprioritaskan melalui: (1) penguatan pemahaman pentingnya KLHS bagi semua pemangku kepentingan; (2) memastikan setiap penyusunan rencana tata ruang dan dokumen perencanaan pembangunan terintegrasi dengan KLHS; (3) pokja penyusun KLHS dan tim penyusun rencana tata ruang ditetapkan melalui satu surat keputusan; dan (4) mengalokasikan anggaran secara memadai dalam penyusunan KLHS. Apabila beberapa hal ini bisa dilakukan, maka keberlanjutan lingkungan akan terus terjaga dan berdampingan dengan pembangunan wilayah yang terus berkembang.



[1] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Tim Ahli Validasi KLHS DIY